Home 83,22% ekspansi sawit di tanah Papua berasal dari era SBY
83,22% ekspansi sawit di tanah Papua berasal dari era SBY


SIARAN PERS


83,22% ekspansi sawit di tanah Papua berasal dari era SBY


[JAKARTA, 5 JUNI 2020] - Hasil studi Greenomics Indonesia mengungkapkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Provinsi Papua dan Papua Barat selama 20 tahun terakhir (2000-2019), mencapai 1,2 juta hektar atau setara 18 kali lipat luas DKI Jakarta.

Dari luasan tersebut, mencapai 1 juta hektar, atau setara 15,2 kali lipat luas DKI Jakarta, diberikan di era Presiden SBY.

Sementara, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di era Presiden Jokowi di kedua provinsi tersebut, berada pada angka 172,4 ribu hektar atau 2,6 kali lipat luas DKI Jakarta.

“Data tersebut menunjukkan bahwa 83,22% pelepasan kawasan hutan untuk ekspansi perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat terjadi di era Presiden SBY,” jelas Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi di Jakarta (5/6/2020).

Di era Presiden Jokowi, lanjut Vanda, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit sebesar 14,32%. Sisanya, sebesar 2,46% atau hampir 30 ribu hektar, diberikan pada tahun 2000, atau tidak sampai setengah dari luas DKI Jakarta,” jelasnya.

Studi Greenomics tersebut, lanjut Vanda, bukan merupakan asumsi, namun merujuk pada bukti legal berdasarkan data resmi pemerintah (KLHK) terkait dengan perkembangan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat sejak tahun 2000 hingga akhir Desember 2019.

“Studi ini tidak memperhitungkan izin sawit yang diterbitkan oleh pemerintah daerah di kedua provinsi tersebut,” tambahnya.

Tinta tebal

Vanda menyatakan, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Provinsi Papua dan Papua Barat tersebut perlu digarisbawahi dengan tinta tebal, terutama ketika berbicara soal tingkat kehilangan hutan alam di kedua provinsi tersebut.

“Data pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di kedua provinsi tersebut adalah bagian dari perjalanan sejarah,” tegasnya.

Vanda juga menyarankan, ketika membahas soal deforestasi yang terjadi sekarang ini di kedua provinsi tersebut, maka perlu terlebih dahulu melihat di era siapa terjadinya pemberian pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit tersebut.

“Kita bisa lihat, di era siapa yang berjalan begitu cepat dalam melepas kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat. Fakta legal ini tidak bisa ditutupi dengan narasi apapun,” tegasnya.

“Kita juga bisa lihat, di era siapa yang begitu lamban melepas kawasan hutan untuk ekspansi perkebunan sawit  di Papua dan Papua Barat,” tambahnya.

Dalam studinya itu, Greenomics menyimpulkan bahwa periode Presiden SBY adalah periode yang terluas dan tercepat dalam melepas kawasan hutan untuk ekspansi perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat.

“Dapat dipastikan bahwa kehilangan hutan alam Papua dan Papua Barat dari tahun ke tahun akibat ekspansi perkebunan sawit, masih akan terus terkait dengan areal pelepasan kawasan hutan untuk sektor tersebut selama periode 2000-2019, di mana mencapai 83,22% diberikan di era Presiden SBY,” tutup Vanda
.***

-----------------------------------------------------
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Vanda Mutia Dewi
Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia
+62 818 944670

Greenomics Indonesia kembali meminta Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais untuk mempelajari izin prinsip ekspansi tambang PT Freeport Indonesia (PT FI) tertanggal 9 Juli 2013 yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan seluas setara 2.738 lapangan sepakbola yang merupakan hutan lindung Papua tersebut.

Ketika menandatangani izin prinsip ekspansi Freeport tersebut, Menteri Kehutanan era Presiden SBY itu merupakan salah satu pimpinan DPP PAN.

“Idealnya, 5 tahun yang lalu, Pak Amien mengingatkan Pak Zulkifli Hasan untuk tidak menerbitkan izin prinsip ekspansi tambang Freeport tersebut,” ujar Vanda Mutia Dewi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia di Jakarta (16/7/2018).

Saat ini, Vanda menjelaskan, menurut laporan BPK RI (April 2017), areal izin prinsip ekspansi Freeport dari Menhut Zulkifli Hasan tersebut telah berubah menjadi areal ekspansi tambang Freeport, terlepas Freeport sendiri — berdasarkan laporan pemeriksaan tersebut — terbukti telah melakukan ekspansi yang bertentangan dengan peraturan perundangan pada areal izin prinsip tersebut.

“Kerugian negara dari ekspansi ilegal Freeport pada areal izin prinsip tersebut, tentu harus diperhitungkan nilainya. Kemudian, dimasukkan menjadi faktor pengurang signifikan dari nilai akuisisi yang harus dibayarkan oleh PT Inalum kepada Freeport,” jelas Vanda.

Tak hanya itu, lanjutnya, areal ekspansi ilegal Freeport tersebut dapat disita oleh Pemerintah Indonesia.

“Areal ekspansi ilegal Freeport tersebut juga harus dikeluarkan dari kesepakatan awal akuisisi, karena areal tersebut merupakan areal ekspansi ilegal,” Vanda menambahkan.

Menurut laporan BPK RI, areal ekspansi ilegal Freeport itu telah mencapai sedikitnya 4.353 lapangan sepakbola, terbukti melewati batas peta areal izin prinsip yang diberikan oleh Menhut Zulkifli Hasan tersebut.

“Kerugian negara yang berasal dari areal di luar peta izin prinsip tersebut, juga harus diperlakukan sama, yakni disita oleh Pemerintah Indonesia, kemudian dikeluarkan dari kesepakatan awal akuisisi, serta ditagih kerugian negaranya kepada Freeport,” jelas Vanda.

Mengingat operasi ekspansi ilegal Freeport tersebut merupakan bentuk tindak pidana kehutanan, tentu saja kesepakatan awal akuisisi yang dicapai tersebut, tidak termasuk pemutihan tindak pidana tersebut.***

------------------
Vanda Mutia Dewi
Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia
+62 818 944670