Home Greenomics: Pidato Presiden Jokowi di COP26 sesuai data satelit
Greenomics: Pidato Presiden Jokowi di COP26 sesuai data satelit


SIARAN PERS


Greenomics: Pidato Presiden Jokowi di COP26 sesuai data satelit


[Jakarta, 3 November 2021] - Greenomics Indonesia mengungkapkan bahwa pidato Presiden Jokowi pada KTT Perubahan Iklim COP26 di Glasgow (1/11/2021) mengenai laju deforestasi terendah dalam 20 tahun terakhir adalah sesuai dengan data satelit.

“Data satelit tidak bisa diajak berbohong karena dapat diakses oleh siapapun. Laju deforestasi Indonesia terendah dalam dua dekade terakhir adalah sesuai dengan data satelit. Pidato Presiden Jokowi tak terbantahkan karena sesuai dengan data satelit,” Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi menyampaikan hal tersebut di Jakarta (3/11/2021).

Laju penurunan deforestasi Indonesia, lanjut Vanda, telah diverifikasi oleh tim verifikator internasional.

Sebagai contoh, laju penurunan deforestasi selama 2014-2016 dalam skema Green Climate Fund (GCF), di mana tim verifikator internasional menyimpulkan telah terjadi penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan selama periode tersebut.

“Data satelit juga membuktikan itu,” jelas Vanda.

Contoh selanjutnya, lanjut Vanda, adalah penurunan deforestasi selama 2016-2017, yang juga telah diverifikasi oleh tim verifikator internasional, yang juga menyimpulkan bahwa telah terjadi laju penurunan deforestasi Indonesia selama periode tersebut.

“Perlu kita akui bahwa laju penurunan deforestasi yang terjadi dalam periode Presiden Jokowi terbukti belum pernah terjadi di era presiden-presiden sebelumnya. Kesimpulan ini berdasarkan data satelit dan hasil verifikator internasional, bukan opini. Data satelit tidak bisa diajak berbohong,” tegasnya.

Laju penurunan deforestasi terendah selama dua dekade terakhir di Indonesia juga diapresiasi oleh Utusan Khusus Iklim Presiden AS John Kerry melalui penayangan rekaman video resminya pada acara Festival Iklim yang diselenggarakan oleh KLHK (18/10/2021).

Kerry memuji kepemimpinan Presiden Jokowi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bahwa deforestasi antara 2019 dan 2020 merupakan deforestasi terendah dalam 20 tahun terakhir.

“Amerika itu gudangnya data satelit antar periode waktu. Pujian Kerry tersebut juga mengacu pada data satelit karena data satelit tidak bisa diajak berbohong,” ujar Vanda.

Data satelit karhutla

Greenomics juga menjelaskan bahwa data satelit yang diterbitkan oleh Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk melihat penurunan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia, yang menjadi bagian dari pidato Presiden Jokowi di COP26.

Tahun 2020 lalu, dengan menggunakan data satelit CAMS, Vanda mengemukakan bahwa Amerika Serikat dan Australia merupakan bagian dari negara-negara dengan luas karhutla terbesar di dunia, dan mereka berada dalam daftar negara-negara pengemisi terbesar dari karhutla.

“Indonesia tidak termasuk dalam daftar tersebut,” jelas Vanda.

Sedangkan pada tahun 2021 ini, lanjut Vanda, data CAMS menyebutkan Amerika Serikat, Kanada, sebagian negara-negara Eropa dan Rusia adalah negara-negara penyumbang emisi global karhutla terbesar karena mereka merupakan negara-negara-negara terluas karhutla di dunia.

“Kembali kita lihat, Indonesia tidak berada dalam daftar negara-negara tersebut,” tegasnya.

Dari data satelit karhutla dan emisi yang ditimbulkannya selama 2020-2021 yang diterbitkan oleh CAMS tersebut, Vanda menyatakan bahwa pidato Presiden Jokowi mengenai penurunan karhutla di Indonesia telah sesuai dengan data satelit global.

“Selama dua tahun berturut-turut (2020-2021) pada periode global pandemi ini, di Indonesia juga tidak terjadi bencana asap yang substansial. Wajar, CAMS tidak memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara-negara penyumbang karhutla terbesar di dunia selama 2020-2021,” tambahnya.  

“Pidato Presiden Jokowi di COP26 telah sesuai dengan data satelit global,” tutup Vanda.**

-----------------------------------------------------
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Vanda Mutia Dewi
Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia
+62 818 944670

Greenomics Indonesia kembali meminta Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais untuk mempelajari izin prinsip ekspansi tambang PT Freeport Indonesia (PT FI) tertanggal 9 Juli 2013 yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan seluas setara 2.738 lapangan sepakbola yang merupakan hutan lindung Papua tersebut.

Ketika menandatangani izin prinsip ekspansi Freeport tersebut, Menteri Kehutanan era Presiden SBY itu merupakan salah satu pimpinan DPP PAN.

“Idealnya, 5 tahun yang lalu, Pak Amien mengingatkan Pak Zulkifli Hasan untuk tidak menerbitkan izin prinsip ekspansi tambang Freeport tersebut,” ujar Vanda Mutia Dewi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia di Jakarta (16/7/2018).

Saat ini, Vanda menjelaskan, menurut laporan BPK RI (April 2017), areal izin prinsip ekspansi Freeport dari Menhut Zulkifli Hasan tersebut telah berubah menjadi areal ekspansi tambang Freeport, terlepas Freeport sendiri — berdasarkan laporan pemeriksaan tersebut — terbukti telah melakukan ekspansi yang bertentangan dengan peraturan perundangan pada areal izin prinsip tersebut.

“Kerugian negara dari ekspansi ilegal Freeport pada areal izin prinsip tersebut, tentu harus diperhitungkan nilainya. Kemudian, dimasukkan menjadi faktor pengurang signifikan dari nilai akuisisi yang harus dibayarkan oleh PT Inalum kepada Freeport,” jelas Vanda.

Tak hanya itu, lanjutnya, areal ekspansi ilegal Freeport tersebut dapat disita oleh Pemerintah Indonesia.

“Areal ekspansi ilegal Freeport tersebut juga harus dikeluarkan dari kesepakatan awal akuisisi, karena areal tersebut merupakan areal ekspansi ilegal,” Vanda menambahkan.

Menurut laporan BPK RI, areal ekspansi ilegal Freeport itu telah mencapai sedikitnya 4.353 lapangan sepakbola, terbukti melewati batas peta areal izin prinsip yang diberikan oleh Menhut Zulkifli Hasan tersebut.

“Kerugian negara yang berasal dari areal di luar peta izin prinsip tersebut, juga harus diperlakukan sama, yakni disita oleh Pemerintah Indonesia, kemudian dikeluarkan dari kesepakatan awal akuisisi, serta ditagih kerugian negaranya kepada Freeport,” jelas Vanda.

Mengingat operasi ekspansi ilegal Freeport tersebut merupakan bentuk tindak pidana kehutanan, tentu saja kesepakatan awal akuisisi yang dicapai tersebut, tidak termasuk pemutihan tindak pidana tersebut.***

------------------
Vanda Mutia Dewi
Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia
+62 818 944670