Home PRESS RELEASE Peta Indikatif Restorasi Gambut menyesatkan para pihak
Peta Indikatif Restorasi Gambut menyesatkan para pihak

[Jakarta, 29 Juni 2016] Hasil analisis spasial Greenomics Indonesia terhadap Peta Indikatif Restorasi Gambut menunjukkan bahwa peta indikatif tersebut dapat menyesatkan para pihak karena peta indikatif tersebut tidak berbasis pada substansi yang sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Atas dasar tersebut, peta indikatif hasil kerja Badan Restorasi Gambut (BRG) tersebut harus segera ditarik dari proses konsultasi publik.

Demikian Vanda Mutia Dewi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, menyampaikan hasil analisis spasial terhadap Peta Indikatif Restorasi Gambut, Rabu (29/6/2016) di Jakarta.

Vanda mencontohkan, desakan BRG kepada Presiden Jokowi untuk memasukkan sebagian besar lahan gambut sebagai areal moratorium merupakan suatu desakan yang menyesatkan publik, baik dari segi substansi maupun jika dilihat dari aspek hukum.

"Sebagian besar lahan gambut yang diusulkan oleh BRG untuk dijadikan sebagai areal moratorium, saat ini areal tersebut memang telah ditetapkan sebagai areal moratorium melalui Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Ini menunjukkan, peta indikatif BRG itu tidak menggunakan peta PIPPIB sebagai salah satu referensi. Desakan BRG itu sangat memalukan secara teknis. BRG harus meminta maaf secara terbuka kepada Presiden Jokowi," jelas Vanda.

Contoh kelemahan legalitas dari peta indikatif restorasi gambut tersebut, Vanda menambahkan, telah disampaikan langsung kepada BRG, dan memang terbukti, BRG belum memasukkan peta PIPPIB ke dalam peta indikatif restorasi gambut tersebut.

Tak hanya itu, analisis spasial Greenomics juga mengungkapkan bahwa peta indikatif BRG tersebut telah memetakan perkebunan sawit ilegal di lahan gambut yang berada dalam kawasan hutan sebagai lahan gambut yang terkelola baik. Peta indikatif BRG tersebut, lanjut Vanda, sangat menguntungkan grup-grup bisnis sawit tertentu.

"Ini sangat jelas, bahwa peta indikatif BRG itu telah menabrak aspek hukum. Ini sekaligus menunjukkan lemahnya kapasitas BRG dalam melakukan pemetaan berbasis hukum," ujar Vanda.

Yang sangat mencengangkan lagi adalah, peta indikatif BRG tersebut, telah mengklasifikasikan kubah gambut yang telah ditanami tanaman akasia dan sawit sebagai lahan gambut yang terkelola dengan baik.

"Akibatnya, peta indikatif BRG tersebut sangat menguntungkan salah satu perusahaan pulp dan paper dan sejumlah perusahaan sawit yang berkantor pusat di Singapura. Ini harus dicegah," jelas Vanda.

Jika definisi "gambut terkelola baik" itu diindikasikan sebagai lahan gambut yang tidak terjadi kebakaran selama beberapa tahun terakhir, maka penggunaan istilah "gambut terkelola baik" tersebut merupakan indikator yang sangat menyesatkan secara teknis.

Peta indikatif restorasi gambut BRG tersebut tidak menunjukkan upaya dari BRG untuk melakukan revegetasi terhadap kubah gambut yang telah dikeringkan dan telah ditanami akasia dan sawit. Contoh tersebut, lanjut Vanda, salah satunya dapat di dilihat di Riau, salah satu provinsi prioritas restorasi gambut.

"Secara substansi dan hukum, peta indikatif BRG tersebut telah menyesatkan para pihak. Kami mampu membuktikan itu, baik secara spasial maupun di tingkat lapangan," ungkap Vanda.

Untuk itu, Vanda mendesak Kepala BRG Nazir Foead untuk tak hanya meminta maaf secara terbuka ke Presiden Jokowi, namun juga meminta maaf kepada publik karena telah memberikan materi konsultasi publik dengan peta indikatif yang menyesatkan secara substansi hukum.***

Contact: This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it